Wellcome To My Blog

Monday, June 30

Pasang form comment di blogger

Monday, June 30, 2008 by Joe Spyder · 1 comments

Great news for people who dream about having a comment form under post on Blogger. Now Blogger Team is experimenting with this new feature.
The result would be something like this or view the demo here
Comment Form Under Post

Comment Form Under Post 2
This means I have to depreciate the old blogger tricks to get a comment form under post.

How To Get This New Comment Form Under Post?


  1. Login to Blogger Draft
  2. Go to your blog settings page -> comments

    Comment Form Under Post Setting
  3. Done.
You should be able to see the comment form embedded under your post now. But if not, then follow this additional steps
  1. Go to your blogger template editor (Your Blog Dashboard -> Layout -> Edit HTML)


    *backup your template first.
  2. Tick the Expand Widget Templates
  3. Find these codes below
    <p class='comment-footer'>
    <b:if cond='data:post.allowComments'>
    <a expr:href='data:post.addCommentUrl' expr:onclick='data:post.addCommentOnclick'>
    <data:postCommentMsg/>
    </a>
    </b:if>
    
    </p>
    Can’t find the codes? check this explanation on image:
    Comment Form Under Post Install
  4. Replace them with codes below
    <p class='comment-footer'>
    <b:if cond='data:post.embedCommentForm'>
    <b:include data='post' name='comment-form'/>
    <b:else/>
    <b:if cond='data:post.allowComments'>
    <a expr:href='data:post.addCommentUrl' expr:onclick='data:post.addCommentOnclick'>
    
    <data:postCommentMsg/>
    </a>
    </b:if>
    </b:if>
    </p>
  5. Save It. And Done.
Sumber : Jackbook.com

Saturday, June 28

Nonton Tv sambil kerja deh di internet

Saturday, June 28, 2008 by Joe Spyder · 0 comments

Wah saat malam minggu pengen nonton tv neh, ternyata hasil googling alah hasil gw dapet link untuk nonton tv online,, akhirnya dengan speedy gw nonton tv online juga deh, film bleade, buat yang mau coba silahkan neh link nya, imediabiz.tv, atau tv-online.com, ya lumayan sih gambarnya, kalau tv-online.com itu kadang suka ngadet sih, beda sama imediabiz.tv karna udah di sesuaiin jadi liytanya juga asik serasa nonton tv gak online n iklannya juga gak kayak di tv-online.com, so tunggu apa lagi mari coba deh....

Friday, June 27

kontest Blogger

Friday, June 27, 2008 by Joe Spyder · 0 comments

JUARA I: Mendapatkan $50 + 10.000 Entrecard Credits.

JUARA II: Mendapatkan iklan 125×125 gratis di JackBook.Com. Silahkan dijual lagi kalau mau, iklan ini bernilai $50 / bulan. Juara 2 juga akan mendapatkan 5.000 Entrecard Credits.

JUARA III: Mendapatkan 5.000 Entrecards Credits.

Berikut peraturannya:

  1. Kumpulkan point sebanyak-banyaknya, karena pemenangnya adalah orang yang memiliki point paling banyak. Keberuntungan ngga berlaku disini.
  2. Bagaimana cara mendapatkan point?
    1. 2 point x Pagerank Blog anda. Pasang link blog www.JackBook.Com di blogroll anda. 1 Point saja jika blog anda memiliki pagerank 0
    2. 2 point x Pagerank Blog anda. Pasang link blog RomeUy.Com di blogroll anda. 1 Point saja jika blog anda memiliki pagerank 0
    3. 5 point x Pagerank Blog anda. Buat sebuah Post yang berisi paling tidak 3 link ke
    - link ke www.JackBook.com
    - link ke RomeUy.Com
    - link ke post kontes yang ada di JackBook.Com

Monday, June 16

Sapaan di saat menunggu hidupnya listrik

Monday, June 16, 2008 by Joe Spyder · 1 comments

Hari ini mati lampu pas jam 8 pagi saat itu gw lagi asik2nya mengotak atik google Analytics wah listrik malah mati, karna gw pikir ini bakal lama akhirnya gw sempatin mandi sebelum akhirnya air abis deh, padahal tadinya gw masih terus mau pelajarin google Analytics, karna tuntutan kerja gw sebagai programmer, pas gw liyat visitor yang ngunjungin blog gw, eh kok malah udah nyampek pilipina n US sama montrial,

ya setelah itu indonesia, padahal gw baru berapa hari pasang Analytics di blogger gw, ya akhirnya gw niatin deh untuk isi blogger gw minimal mungkin 3 kali seminggu biar update terus, padahal ide awal gw bikin blogger ini hanya buat ilangin stress gw, tapi akhirnya kepikiran buat Adsense, serta pengen tau aja cara kerjanya sekalian matengin periklanan di website wahh...

lumayan juga sih kalau bisa dapet penghasilan perbulan $100 per blog,, ya siapa yang gak mau so,, sekalian kita rajin nulis karna sangat bagus juga buat pengingatan kita, n ngurangin rasa males, serta memicu untuk tratur n inprastruktur, dalam bekerja

Sunday, June 15

Belajar Terus

Sunday, June 15, 2008 by Joe Spyder · 0 comments

Sampai dapet semua ya terus belajar

Saturday, June 14

Perjanan Yang Jauh

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 0 comments

Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi
seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur’anul Karim. Jika ingin
menemuinya, pergilah ke mushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya
sedang ruku’, sujud dan menengadahkan ke langit. Itulah yang
dilakukannya setiap pagi, sore dan di tengah malam hari. Ia tidak
pernah jenuh.

Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah seni,
tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tak pernah beranjak dari
video. Bahkan, aku sudah identik dengan benda yang satu ini. Setiap
video diputar pasti di situ ada aku. Karena ‘kesibukanku’ ini, banyak
kewajiban yang tak bisa kuselesaikan bahkan, aku suka meninggalkan
shalat. Setelah tiga jam berturut-turut menonton video di tengah
malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid
dekat rumahku. Sekonyong-konyong malas menggelayuti semua
persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur. Nurah
memanggilku dari mushallanya. Dengan berat sekali, aku menyeret
kaki menghampirinya.

“Ada apa Nurah?,” tanyaku.

“Jangan tidur sebelum shalat Subuh!”, ia mengingatkan. “Ah. Subuhkan
masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertama!” Begitulah, ia
selalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasihat, sampai
akhimya ia terbaring sakit. ia tergeletak lemah di tempat tidur.


“Hanah!,” panggilnya lagi suatu ketika. Aku tak mampu menolaknya.
Suara itu begitu jujur dan polos. “Ada apa saudariku?”, tanyaku pelan.

“Duduklah!”

Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening… Sejenak kemudian Nurah
melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu.

“Tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu.” (Al Imran: 185) Diam sebentar, lalu
ia bertanya: “Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?” “Tentu saja
percaya!”

“Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan dihisab, baik yang
besar maupun yang kecil?” “Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih
panjang!”

“Ukhti, apakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba?
Lihatlah Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal karena
sebuah kecelakaan. Lihat pula si fulanah…Kematian tidak mengenal
umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang. Aku menjawabnya
penuh ketakutan. Suasana tengah malam yang gelap mencekam, semakin
menambah rasa takutku.

“Aku takut dengan gelap, bagaimana engkau menakut-nakutiku lagi dengan
kematian? Di mana aku akan tidur nanti ?” Jiwa asliku yang amat
penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri aku benusaha
tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan,
rekreasi.

“Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi
bersama?”, pancingku. “‘Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan
pergi jauh, ke tempat yang jauh… mungkin… umur ada di tangan
Allah, Hanah”, ia lalu terisak. Suara itu bergetar, aku ikut hanyut
dalam kesedihan.

Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang
ganas. Para dokter, secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada
ayah. Menurut analisa medis, para dokter sudah tak sanggup, dan itu
berarti dekatnya kematian. Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua
padanya?, atau ia memang merasa sudah datang waktunya?, “Mengapa
termenung? Apa yang engkau lamunkan?”, Nurah membuyarkan lamunanku.

“Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang sakit? Tidak.
Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang sehat.

Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40
tahun atau… Lalu apa setelah itu? Kita tidak berbeda. Kita semua
pasti akan pergi, entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum
mendengar ayat: “Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke
dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung” ( Ali Imran:
185) “Sampai besok pagi,” ia menutup nasihatnya.

Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar. Nasihatnya masih terngiang-
ngiang di gendang telingaku, “Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan
lupa shalat!” Pagi hari…Jam dinding menunjukkan angka delapan pagi.
Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. “Pada jam ini biasanya aku
belum mau bangun” pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh,
orang banyak terisak. “Ya Rabbi, apa yang terjadi?”

“Mungkin Nurah…?, “firasatku berbicara. Dan benar, Nurah pingsan,
ayah segera melarikannya ke rumah sakit. Tidak ada rekreasi tahun
ini. Kami semua harus menunggui Nurah yang sedang sakit. Lama sekali
menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap cemas. Tepat pukul
satu siang, telepon di rumah kami berdering. Ibu segera
mengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari rumah
sakit. “Kalian bisa pergi ke rumah sakit sekarang!,”
demikian pesan ayah singkat.

Kata ibu, tampak sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari
biasanya.

“Mana sopir…?” kami semua terburu-buru: Kami menyuruh sopir
menjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya terasa
dekat bila aku menikmatinya dalam perjalanan liburan, kini terasa
amat panjang, panjang dan lama sekali. Jalanan macet yang biasanya
kunanti-nantikan sehingga aku bisa menengok ke kanan-kiri, cuci mata,
kini terasa menyebalkan. Di sampingku, ibu berdo’a untuk keselamatan
Nurah.

“Dia anak shalihah. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Ia
begitu rajin beribadah”, ibu bergumam sendirian. Kami turun di depan
pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Para pasien pada
tergeletak lunglai. Di sana sini terdengar lirih suara rintihan. Ada
yang baru saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta,
ada yang mengerang keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku
merinding. Kami naik tangga eskalator menuju lantai atas. Nurah
berada di ruang perawatan intensif. Di depan pintu terpampang
papan peringatan: “Tidak boleh masuk lebih dari satu orang!” Kami
terperangah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui, kami.
Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah mulai membaik, setelah
beberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.

Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari sebuah lubang kecil
jendela yang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang
memandangiku. Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air
matanya. Waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari ruang perawatan
intensif.

Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatkan agar aku tidak banyak
mengajaknya bicara. Aku diberi waktu dua menit.

“Assalamu ‘alaikum!, bagaimana keadaanmu Nurah?, tadi malam, engkau
baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?”, aku menghujaninya dengan
pertanyaan.

“Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja, jawabnya dengan berusaha
tersenyum.

“Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?” aku menyelidik. Aku
duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia segera
menjauhkannya dari jangkauanku.

“Ma’af, kalau aku mengganggumu!”, aku tertunduk.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta’alaa:
“Dan bertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada Tuhanmullah pada
hari itu kami dihalau”. (Al-Qiyamah: 29-30)

Nurah melantunkan ayat suci Alquran. Aku menguatkan diri. Sekuat
tenaga aku berusaha untuk tidak menangis di hadapan Nurah, aku
membisu.

“Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadap.
Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku di akhirat
Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali”.

Pertahananku runtuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ayah mengkhawatirkan keadaanku. Sebab mereka tak pernah melihatku
menangis seperti itu. Bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada
hari itu. Nurah meninggal dunia. Suasana begitu cepat berubah.
Seperti baru beberapa menit aku bebincang-bincang dengannya. Kini ia
telah meninggalkan kami buat selama-selamanya. Dan, ia tak akan
pernah bertemu lagi dengan kami. Tak akan pernah pulang lagi. Tidak
akan bersama-sama lagi. Oh Nurah Suasana di rumah
kami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh
tangisan yang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan
melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang,
tidak pula apa yang mereka percakapan.

Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan
diriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski
sekedar menangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku
ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium keningnya.

Kini, tak ada sesuatu yang kuingat selain satu hal. Aku ingat firman
Allah yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya. “Dan bertaut
betis (kiri) dengan betis (kanan)”. Aku kini benar-benar paham
bahwa “Kepada Tuhanmullah pada hari itu kamu dihalau”

“Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam terakhir aku
menjumpainya di mushallanya. Malam ini, aku sendirian di mushalla
almarhumah terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian
baik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut
memahami dan merasakan kegalauanku, saudari yang selalu mendo’akanku
agar aku mendapat hidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan
air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menasihatiku
tentang mati, hari perhitungan .ya Allah! Malam ini adalah malam
pertama bagi Nurah di kuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia, terangilah
kuburnya. Ya Allah, ini mushaf Nurah, ini sajadahnya dan ini..ini
gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan
kenangan manis pernikahannya.

Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia. Aku menangis
terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo’a kepada Allah semoga Dia
merahmatiku dan menerima taubatku. Aku mendo’akan Nurah agar mendapat
keteguhan dan kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering
dan suka mendo’akanku.

Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. “Apa yang terjadi
jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?” Aku tak
berani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku menangis,
menangis lebih keras lagi. Allahu Akbar, Allahu Akbar…Adzan fajar
berkumandang.

Tetapi, duhai alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Aku
merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan
muadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah, selanjutnya aku
shalat Subuh. Aku shalat seperti keadaan orang yang hendak berpisah
selama-lamanya. Shalat yang pemah kusaksikan terakhir kali dari
saudari kembarku Nurah. Jika tiba waktu pagi, aku tak menunggu waktu
sore dan jika tiba waktu sore, aku tidak menunggu waktu pagi.

Orang orang Syurga

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 0 comments



Kami terusir lagi. Pemerintah lokal Evosmos sepakat menendang ribuan etnis kami dari daerah juridiksi. Banyak orang menangis. Ini tak ada habisnya. Bertahun-tahun. Berpuluh tahun. Lelah. Tak tahan. Kenapa harus kami yang diperlakukan begini?
“Sampai kapan Yunani akan membenci kita?”
“Ke mana kita harus pergi?”
“Apa salah kami, Pak? Apa salah kami?!”

Wajah penguasa tidak sudi berubah. Benci dan terasa makin bengis saja pada kami. Pertanyaan hati dijawab dengan tangan besi. Main hardik, main badik. Caci maki bermuntahan lebih tajam dari timah panas manapun; melukai hati, membunuh harga diri. Sudah lama seperti itu. Sebelum hari ini, beragam tindakan telah menyisir kami secara rasis. Kami tidak mendapat pelayanan kesehatan, pendidikan, bahkan hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Semua itu tidak kami dapatkan. Tidak seperti orang-orang asli negeri ini. Etnis kami adalah etis komedi pahit. Lelucon yang sadis—sebab kami melawak dengan adegan terjatuh, tersungkur, kesakitan. Slapstick. European dark skin, orang bilang.

“Yah, kita sekarang mau pergi ke mana?”
“Ayah dengar sementara kita akan ditampung di lokasi bekas camp latihan militer, Nak.”
“Berapa lama?”
Ayahku tak menjawab. Hanya menatap nanap ke arah Ibu yang tertatih-tatih; berusaha terus berjalan dengan membawa perutnya yang melembung besar. Kendati sudah dipapah, kehamilannya sangat menguras energi. Apalagi—kata Ayah—kandungan Ibu sudah masuk hari-hari yang rawan. Kemungkinan besar akan segera melahirkan. Aku masih ingat: Ayah begitu mendung saat menceritakan hal itu.
***

Aku ingin menengok masa lampau yang masih tampak buram. Kejadian hari ini pastilah berhubungan dengan sejarah. Silam. Mendapatkan perlakuan diskriminatif di usiaku yang hijau, bukanlah hal yang wajar dan bisa kuterima tanpa terbersit dua tiga ribu pertanyaan. Tak lazim. Mau tak mau, enggan tidak enggan, bertanya jadi pilihan. Kewajiban yang dituntut benak dan nurani. Siapa dan ada apa?

“Ayah tak tahu pasti, Nak. Tapi… sedikit banyak Ayah tahu.”
“Berceritalah, Ayah. Aku ingin dengar.”
Ayah memijiti pergelangan kaki Ibu. Kami tengah beristirahat. Bersama ribuan etnis kami lainnya, malam ini makhluk-makhluk berjuluk dingin mengigiti kulit. Menyusup ke pori-pori dan mengerutkan serabut syaraf—hingga mengerdil atau mengigil aneh. Tak ada fasilitas apa-apa untuk membaringkan tubuh, apalagi tidur. Cuma tanah dan batu-batu. Kasur? Alas penghangat badan? Mustahil saat ini. Terlalu mahal atau terlalu mewah untuk nyawa-nyawa kami.

“Merebahlah, Nak. Kau pasti lelah, bukan?”

Aku mengangguk. Meratakan tulang belakang, agak ke kanan—persis di samping Ibu. Menatap langit yang disesaki awan-awan. Agak kelabu—menghalangi bintang menghiasi angkasa dari pandangan. Semoga tidak turun hujan. Kalau takdir berkata lain, besar peluang sebagian besar dari kami akan basah kuyup. Tak ada apa-apa di sini. Tenda-tenda yang berdiri tidak menjamin. Sudah penuh dengan berjejal jantung-jantung para orang. Lihat saja kami. Tak kebagian. Seolah ibu hamil dan satu orang bocah sepertiku terlalu banyak. Dalam keadaan terdesak atau tertekan, orang-orang akan menunjukan sikap asli mereka. Yang egois akan mau menang sendiri, yang rapuh akan menangis, yang tabah akan tetap beradab dan memancarkan pribadinya nan mengagumkan.

“Ayah pernah dengar, etnis kita berasal dari India, Nak. Tapi, tepatnya di mana, Ayah sangat kabur. Yang jelas, dari wilayah konfederasi Rajput.”

“Apa itu konfederasi, Ayah? Dan, di mana India itu?”

Ayah tertawa. Tak tahu, utasnya jujur. Beliau begitulah. Sosok yang melupakan bohong untuk sekian lama. Bila Ayah tak tahu jawaban dari sebuah masalah, maka beliau tak akan segan untuk berkata tidak tahu atau mengendikan bahu Begitupun sebaliknya. Aku ikut terkekeh—walah sedikit. Sekali lagi, ada getir yang tertoreh pelan di sana. Ini masalah pendidikan yang senjang. Tertutup bagi kami. Dari zaman Kakek, Ayah… aku. Mungkin lebih lama dari itu dan mungkin akan lebih lama lagi.

“Mau Ayah lanjutkan, Nak?”
“Ya, Ayah. Tentu saja.”
“Tapi, jangan banyak bertanya, ya?”
“Baiklah.”

Gaun bulan terus merangkak. Angin berembus seraya memainkan senandung rangkak. Lidah Ayah masih berujar cerita. Tentang pengembaraan yang harus ditempuh etnis kami ketika terjadi perang panjang, penjarahan, dan penghancuran berkali-kali oleh kekaisaran Ghaznavid. Etnis kami harus hengkang pada (sekitar) tahun 1192. Terpaksa. Terancam masuk siklus perbudakkan dan pembantaian menjadi kecemasan kolektif. Siapa yang mau? Rasanya tidak ada.

Di episode berikutnya, nasib lain berkata pada kami. Kami—yang tadinya pergi serempak bersama-sama—terpecah. Ada yang menuju selatan, tapi tidak sedikit yang menuju ke barat India. Ke utara juga ada. Bahkan menurut kabar yang beredar, mereka berhasil mencapai lembah Upper-Indus melewati Kashmir. Lagi-lagi, jadi pengungsi.

“Setidaknya kita aman dari kekejaman kekaisaran Ghaznavid ’kan, Yah?”

“Kata siapa? Etnis kita masih disergap perasaan waswas, Nak. Kita dirundung kekhawatiran karena tentara Ghaznavid terus melakukan pengejaran—mengancam keselamatan kita.”

“Lalu?”
“Kita harus menyingkir dan mengalah menuju Persia. Dari negeri Persia, kita lalu memasuki daerah kekaisaran Trebizond—yang masyarakatnya berbahasa Armenia.”

“Bermukim?”
“Iya, tapi…”
“Tidak lama, bukan? Persis seperti keadaan kita sekarang, kan?!” Aku menukas cepat. Ayah cuma tersenyum samar. Tak keberatan kalimatnya kupangkas sampai segitu. Tak lama, tangan kasar miliknya mengusap kepalaku lembut. Pelan.

“Bersabarlah, Nak. Bersabarlah….”
“Aku bisa bersabar kok, Yah. Tapi aku bingung dengan kondisi Ibu. Bingung dengan adik bayi yang mau lahir. Nanti bagaimana kalau kita diusir lagi dari sini? Keadaan Ibu kan masih lemah….”

Ayah terhenyak. Aku kira begitu. Sekejap air mukanya berubah gundah. Aku jadi merasa bersalah. Untuk selanjutnya kukatupkan saja mulut ini. Kukancingkan saja sampai nanti pagi. Sekiranya masih tersisa pertanyaan, keluhan atau kecemasan yang menyapa di sisa malam itu, aku menyimpannya di kantong baju lusuhku. Lebih baik tak kuungkapkan sekarang. Sudah saatnya aku juga merasa kasihan pada Ayah.
***
“Ayah, kita tidak berhenti di Trebizond, bukan?”
“Oh, iya. Semalam belum selesai, ya?”

Aku berusaha keras sunggingkan senyum. Di tengah kerumunan orang-orang yang terusir, berubah tempramental atau tertekan adalah hal yang biasa. Stres, sakit kepala, atau menjadi gila adalah resiko yang dijejalkan kepada kami setiap hari. Berdansa tango di sekeliling risiko. Hidup segan, mati pun tidak mau. Mengambang di antara dua garis yang tak jelas. Aku tak mau begitu. Ayah sepertinya juga tak mau. Beliau cukup tabah sehingga tak larut dalam pemikiran atau perenungan yang tak berujung.

“Tak lama,” Ayah mengajakku pergi agak menjauh dari Ibu yang tengah beristirahat, ”karena ada perang, kita kembali terpaksa pindah, Nak. Menyingkir ke kekaisaran Byzantium menjadi satu-satunya pilihan. Kita kemudian memang menuju Konstantinopel dan menetap di sana. Kalau sekarang, daerah itu sudah berganti nama menjadi Istanbul,” tutur Ayah sembari sesekali memandang ke arah Ibu. Ibu butuh banyak ketenangan. Untuk itulah Ayah merangkulku menjauh dari tenda untuk melanjutkan ceritanya. Semalam, syukurlah dua orang pemuda yang baik hati menawari Ibu untuk menempati tempatnya di dalam sebuah tenda. Nampaknya dunia ini belum kehilangan orang-orang yang berjiwa mulia sepenuhnya.

“Di sini, etnis kita belajar banyak hal, Nak. Salah satunya bahasa Yunani. Di sini pulalah sistem kasta dalam etnis kita lenyap, bersamaan dengan terjadinya pernikahan silang antar keluarga-keluarga luas yang meninggalkan India. Mmm… di daerah ini jugalah etnis kita mulai berbicara dalam bahasa proto-Romani,” ungkap Ayah terus menerus—seolah tak mau berhenti. Kata-katanya padat dan jarang diselingi spasi. Sepertinya pada bagian ini, Ayah cukup paham jalan sejarah. Aku berusaha keras agar tidak ketinggalan ceritanya. Sekalinya aku kehilangan alur cerita Ayah, aku mendengar suara berderit dari arah perut beliau. Ayah lapar. Seperti aku. Tapi, Ayah tak mau mengatakannya di depanku—pun mengakuinya terang-terangan; melenguh, mengeluh, atau mencibirkan keadaan yang serba minus. Dalam diam aku kagum. Mungkin begitulah aku seharusnya kelak; saat jadi laki-laki dewasa atau mengepalai sebuah keluarga. Tangguh demi tanggung jawabku sebab memang begitulah persamaannya. Dijadikan laki-laki lebih kuat bukan untuk merendahkan atau mengintimidasi wanita, tapi untuk mengayominya. Melindunginya. Semua sudah ada jalannya. Sudah ada kodratnya.

“Ngg…”
“Ada apa, Nak?”
“Sehabis itu, apakah kita diusir lagi, Yah?”

“Bukan diusir,” Ayah tersenyum kecut, ”tapi terusir. Perang terjadi lagi sehingga Byzantium hancur. Ambruk. Yaa, terpaksa kita harus menyingkir lagi sebab kondisi. Situasi tak memungkinkan untuk kita bertahan terus di sana, Nak. Selanjutnya, etnis kita menempuh perjalanan yang panjang ke kawasan Balkan. Tepatnya pada abad ke-13. Perlahan, kita pun menuju ke daerah Rumania. Dari sana, kita menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil ke segala penjuru arah. Setiap kelompok punya pemimpin yang akan membimbing dan memutuskan: apakah mereka akan tetap tinggal atau tidak pada daerah yang mereka datangi….”

“Terus, Yah?”
Belum sempat Ayah membuka mulutnya, vibra Ibu berlemparan di udara. Pita suaranya bergetar lirih. Gendang telinga Ayah segera menangkap bunyi cemas itu—lalu tersentak. Aku juga. Kami berdua serempak menengok ke arah tenda Ibu. Hati ini berdegup kencang sekali. Bergegas kami memburu dan melarikan kaki-kaki. Langkah-langkah berkejaran. Ibu kelihatan pucat. Lemah. Pias. Dahinya berpeluh gara-gara menahan sakit yang amat. Beliau terus memegangi perutnya sambil memekik pelan.

”Kenapa, Safa?!”
”Perutku… perutku…”
Mata Ayah bersiborok dengan mataku. Saat itulah aku tahu: Ibu akan melahirkan. Astaga. Sekedip itulah rasa takut menggurita di segenap jiwaku. Aku mulai cemas dan semakin cemas pada jengkal-jengkal waktu berikutnya. Setumpuk hal mulai kupertanyakan; tak bisa kutaklukkan. Misalnya… siapa yang akan membantu persalinan Ibu di tengah camp pengungsian seperti ini?! Butuh keajaiban untuk menemukan seorang ahli medis sekarang. Pun mayoritas orang-orang dari etnis kami adalah orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah. Sekali lagi, bukan tak mau, tapi tidak diperbolehkan. Etnis kami memang terlalu mudah dizalimi. Tidak seperti etnis Turki yang memiliki negara induk, kami tidak punya satu pun negara yang sudi melindungi kami. Yang mau berjuang membela kami—bila pemerintah pemimpin negeri ini memperlakukan etnis kami secara tak adil. Perlakuan buruk sekecil apa pun terhadap etnis Turki di Thrace Barat—umumnya mereka memang bermukim di sana—pasti akan memicu kemarahan Istanbul. Namun, pemerintah negeri mana yang mau marah untuk kami? Negara mana?!

Aku sempat sedikit tahu dari Kakek—satu minggu sebelum kematiannya yang sangat tenang—kalau etnis kami pernah mengidentifikasi diri sebagai orang Turki. Dulu, jauh sebelum hari, minggu, bulan, dan tahun ini. Usai perang Turki-Yunani pada tahun 1923. Ide itu terbetik karena dipicu oleh perjanjian Laussane—yang mengakhiri perang di antara kedua negara yang bersangkutan. Namun, Yunani—dalam hal ini—terlalu keras. Strategi itu gagal total. Pada akhirnya, pemerintah kembali pada sikapnya yang tak ramah; tak kunjung sudi mengakui kami sebagai warga negara.

“Aaaaakhhhh! Ukkkh…. uhhhh!”
“Bertahan, Safa! Bertahanlah!”
“Aku tak tahan lagi!!!”
“Adakah yang bisa membantu istriku melahirkan?! Ada tidaaak?!!” Ayah kalap. Lengkingannya menjulur ke seluruh penjuru lokasi pengungsian. Syukurlah ada ruh-ruh bertubuh yang segera terpanggil di antara orang-orang yang cuma termangu—tak tahu harus bagaimana menyikapi permintaan Ayah. Aku menahan nafas. Aku merasa jadi makhluk paling tak berguna. Hanya sanggup nanar melihat dari pintu tenda pemandangan itu; pemandangan di mana ibuku meregang nyawa untuk mengeluarkan adikku dari rahimnya. Orang-orang yang membantu persalinan menelan ludah getir. Pendarahan banyak sekali. Bahkan terlalu banyak. Tapi, dengan apa harus menghentikannya?

Mungkin, inilah pertama kali di pengungsian ini kami bersama-sama melupakan soal kemalangan yang mendera kami. Rasa lapar, homeless, atau terbuang. Soal-soal itu menguap dan bersenyawa dengan harapan-harapan langit yang menyergap kami; tak lagi punya sifat atau karakter yang sama. Hilang. Musnah. Nyawa seseorang tengah di ujung jurang. Ayah melantunkan doa-doa terhebat yang bisa beliau rangkai—seraya terus mengusap keringat yang menjentik di kening Ibu. Menyemangatinya. Aku gemetar. Ada seorang laki-laki yang menyuruhku keluar. Tak baik katanya. Aku bersikeras tinggal.

Dia tak bisa memaksa. Entah kenapa aku tak ingin pergi dari tempatku berpijak. Melihat ibuku meronta, berteriak-teriak—sampai kukira tenggorokannya telah terbagi dua, bersimbah darah, membuatku tak tahu harus bernyali seperti apa. Berani seperti apa.

Aku memejamkan mata. Aku yakin: malaikat maut tengah berkunjung ke tenda ini. Itulah sebabnya aku berdoa dengan khidmat. Aku berharap doaku mampu mengusir malaikat itu agar tak mengambil hidup ibuku. Mungkin lain kali, tapi bukan sekarang. Jangan sekarang….
***

Ayah hanya berdiri mematung. Dengan kedua tangannya yang kokoh, beliau menggendong adik baruku. Memandang senja yang mulai pentas di ufuk barat. Panas yang kandas dipudar malam. Sedari tadi hanya begitu saja. Matanya kosong. Bulir-bulir air asin memburai dari pelupuknya.

“Safaaa!”
Ayah berteriak. Aku menunduk dan tak kuasa menahan air mata yang merayap pelan dari dua pelupuk. Ibuku benar-benar telah pergi. Dijemput malaikat untuk bertemu Sang Maha Pengasih. Duka selaksa. Kesedihan meradang dalam jiwa. Meranggas bahagia yang sekiranya hadir untuk adik tercinta. Adik bayi yang mungil dan tak tahu apa-apa. Bukan salahnya Ibu pergi, pun bukan karena doa Ayah dan aku tidak dikabulkan. Ini sudah takdir. Kami, sebagai manusia, tak punya daya sekejap saja guna menyangkalnya.

Ayah terpekur terus. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Bukan untuk berbicara padanya, tapi untuk mengarang paragraf bingung bersama-sama. Kematian Ibu membuatku bimbang. Gamang. Mengenai Ayah, aku dan adik bayi. Sehabis ini, bagaimana nasib kami? Ahh, adikku sayang, adikku malang. Jangankan dia yang belum mengerti apa itu kesulitan hidup, orang-orang dewasa dari etnis kami pun sering merasa tak sanggup menjalaninya lagi. Mungkin itu yang kini dialami Ayah. Beliau murung untuk banyak hal.

“Yah?”
“…”
“Ayah?”
“Apa, Nak?”
“Adik bayi sudah diazani belum?”
Ayah menggeleng. Hatiku perih. Apa sebaiknya adikku memang tak usah diazani? Ya, mungkin dia lebih baik tak usah jadi seorang muslim. Menjadi seorang muslim bagi makhluk sekecil itu—di tanah asing ini—mungkin hanya akan membuatnya menderita lebih dahsyat. Mati lebih cepat. Menyusul Ibu. Melepas nyawa. Kalaupun dia hidup, akulah orang pertama yang tidak tega. Sangat mungkin adikku akan mendapatkan masalah yang sama seperti kami sebelum dia beranjak dewasa atau mungkin sebelum dia mengerti kata kenapa. Dihina, dicemooh, dikucilkan. Tiada mendapat pendidikan yang layak, kesehatan, tempat tinggal, bahkan kebebasan menjalankan agamanya. Dicap macam-macam. Pemalas, penyelundup, mafia, dan segala macam nama yang berkaitan dengan dunia kebejatan. Entah untuk sejarah dan bukti yang apa. Main tuduh saja.

“Yah?”
“…”
“Ayah?”
Ayah masih menangis dalam sunyi. Ketika aku sudah memutuskan untuk berhenti memanggilnya, beliau dengan perlahan mengazani adikku. Mataku kembali berembun. Ayah sudah menentukan. Ayah sudah meniatkan. Adik baruku akan jadi seorang muslim, seperti kami. Beliau akan mengajarinya ketauhidan, kerasulan, dan Islam.

“Menjadi muslim memang berat, Nak. Ayah tahu itu, kamu tahu itu. Beriman dalam Islam bukan sekadar bicara beriman pada Allah dan rasul-Nya, pada malaikat-Nya, pada kitab suci dan hari kiamat, dan pada qada dan qadar-Nya. Ya, tidak sekadar itu, tapi juga mengimani resiko kejahatan yang selalu mengintai kita di depan. Itulah yang kita hadapi sebagai etnis Atsingani, golongan terusir dan beragama muslim. Ke manapun kita, maka akan ada selalu orang-orang kafir yang membenci kita. Namun… dengarlah: sebiadab apapun mereka, sekejam apapun mereka menekan kita, Islam harus tetap di dalam dada kita, Nak. Kapan kita mati itu tidak penting bagi seorang muslim. Yang penting adalah bagaimana cara kita mati; apakah kita mati dalam keadaan beriman atau tidak. Tenanglah…. kita akan baik-baik saja. Ayah, kau dan adik barumu. Kita mungkin tak punya rumah yang tetap di atas bumi ini, tapi semoga saja Allah sudi membangunkan kita sebuah rumah di surga nanti….”

Aku mengangguk untuk mengenyahkan kesalahanku. Ya, sesulit apapun hidup kami di masa depan, kami tetap dan harus tetap menjadi seorang muslim. Sampai di mana pun. Sampai kapan pun.
Kutipan : http://www.ummigroup.co.id/annida

Ketika Kepergiaan seorang sangat berati

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 2 comments

Oleh : Helvi Tyana Rosa
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.

Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!





Menengok Tanah Impian

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 0 comments



“Huek, huek… huuk!” Akhirnya muntah juga. Perutku seperti diaduk-aduk. Bau busuk rasanya tak hilang-hilang dari hidungku.
“Masya Allah, telurnya busuk. Nggak jadi deh orak-arik kangkungnya!” Aku bergumam kesal. Segera aku mengangkat wajan dan membawanya keluar. Mantan orak-arik kangkungku kubuang perlahan di tempat sampah. “Tapi ganti sayur apa?” tanyaku dalam hati. Tak lama aku mendapat ide.
“Bu Is, minta kangkungnya, ya,” kataku pada tetangga paling dekat rumah.
“Ambil sajalah, Mbak.” Bu Is, tetangga baruku, menjawab dari dalam rumahnya.
Aku segera mengambil pisau dan wadah. Dengan gesit kupetik batang-batang kangkung di kebun belakang rumah Bu Is. Alhamdulillah, tidak perlu ke pasar untuk beli sayuran lagi. Satu genggam cukuplah untuk makan berdua. Aku cepat-cepat mencuci dan memasaknya.
“Abi, tahu nggak?”
“Apanya?” tanya suamiku sambil menyendok nasinya lambat-lambat. Begitulah dia, makannya lambat. Bahkan lebih lambat dariku. Padahal, aku ini kalau makan dari dulu sudah paling lambat dibanding teman-teman kosku.
“Ummi tadi masak sayurnya sampai dua ronde, lho! Gara-gara telurnya busuk. Telur yang dijual di sini banyak yang busuk ya, Bi?”
“Ya, memang begitu,” jawabnya ringan.
“Kalau di Jawa nggak ada yang sengaja jualan telur busuk. Tapi kata Bu Is, di sini lain.” Suaraku menggantung.
“Ummi jangan samakan Jawa dengan Timika sini. Kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri.” Pesan sponsor suamiku itu selalu kudengar kalau aku sudah cerita, tepatnya membandingkan, Jawa dengan Papua.
Kesan pertama tinggal di sini memang tak menggoda. Sampah-sampah menumpuk di pinggir-pinggir jalan. Belum lagi ludah merah, bekas orang mengunyah buah pinang dan kapur sirih, ada di mana-mana, tak sedap dipandang. Dan pasarnya…. luar biasa beceknya.
Pengalaman belanja di pasar sempat pula membuatku takut belanja. “Kalau tak punya uang, tak usah beli!” teriak seorang pedagang saat aku berusaha menawar sebuah labu kuning kecil. Enam ribu, yang benar saja. Aku memilih pergi, tidak jadi membeli. Dengan uang belanja yang pas-pasan, aku harus berpikir keras untuk mendapatkan sayur dan lauk yang tepat. Di sini semua dijual dengan pembulatan sampai seribu. Tak ada recehan. Seperti supermarket tradisional saja, keterampilan menawar barangpun tidak terpakai di sini.
“Saya saat awal-awal tinggal di sini, sempat stres, Mbak. Harga-harga barang sangat mahal. Jadi harus pinter mengaturnya!” cerita seorang tetanggaku
“Iya, uang lima ratus nggak laku. Pernah saya kumpulkan sampai satu kantong dan saya bawa pulang ke Jawa. Sampai digeledah petugas bandara karena dikira bawa emas,” cerita Bu Is yang suaminya pegawai di sebuah perusahaan asing penambang emas di Papua. Tapi, kebanyakan orang Indonesia tak tahu kalau Papua ada emasnya. Tahunya tambang timah. Kasihan betul negeriku ini…
Aku memang baru beberapa hari tiba di Timika Tengah, di kota kecil yang padat. Suamiku sudah lebih lama tinggal di sini. Ia merantau dan berdagang di sini sejak lima tahun yang lalu.
Sejak hari pertama, aku sadar untuk belajar banyak melapangkan dadaku. Bayangkan saja, saat melihat-lihat kota untuk pertama kalinya, ada pengendara sepeda motor yang meluncur tepat berhadapan dengan kami dari arah yang berlawanan, padahal kami berada di lajur kiri. Untung saja suamiku mengendarai sepeda motornya dengan pelan, sehingga tabrakan bisa dihindarkan.
“Ya, di sini kita harus banyak mengalah. Bahkan, kalau sampai ada anjing yang tertabrak, kita langsung kena denda!” Begitu suamiku menerangkan “peraturan” di jalan. Karenanya, ia tak pernah berani ngebut. Di sini aku memang melihat orang-orang begitu menyayangi anjingnya.
Papua. Tanah impianku ini memang tak seeksotik yang kubayangkan. Bayangan tumpukan sampah dan rumput liar yang mengisi tanah-tanah kosong, jelas bukan gambaran yang eksotik. Dulu, sebelum menikah, aku punya obsesi untuk tinggal di pulau ini. Sebuah kesadaran akan perluasan dakwah menumbuhkan semangat itu. Aku begitu bersemangat mendengar ceramah seorang ustadz tentang dakwah di Indonesia Timur. Aku lantas merasa terpanggil.
Tidak terbayangkan bahwa Allah memberiku peluang itu. Sebuah tawaran untuk menikah dari seorang ikhwan di Papua aku terima beberapa bulan lalu. Saat itu hatiku begitu takjub. Allah hampir memenuhi obsesiku. Dengan cara inikah aku sampai ke Papua, ya Allah? Akhirnya dengan dukungan teman-teman dan orangtua, aku menerima lamaran itu. Dengan proses cepat, aku menikah secara sederhana. Dan Papua telah menungguku.
“Huek, huek!” Insiden telur busuk itu seolah tak bisa kulenyapkan dari pikiranku. Aku jadi mudah mual dan muntah-muntah. Bahkan, aku jadi sulit makan beberapa hari ini. Perutkupun terasa sakit sekali. Rasanya aku belum pernah merasakan sakit perut lebih dari ini. Keringat dingin mulai menetes di keningku. Badanku panas dingin.
Aku meninggalkan piring-piring yang belum kucuci. Segera aku masuk kamar, lalu mengoleskan minyak tawon di beberapa bagian tubuhku. Sambil menahan sakit, aku hanya tiduran sambil menunggu suamiku pulang.
“Makanya, kalau disuruh makan itu nurut. Begini akibatnya, malaria. Di sini tidak baik membiarkan perut kosong. Rawan penyakit!” Ceramah suamiku saat mengendarai motor pulang dari klinik. “Masih untung malaria tertiana, kalau tropicana bisa-bisa bahaya. Ada teman yang kena syaraf sampai jadi gila, lho!”
“Abi jangan bikin takut gitu, ah.” Aku menyodok pinggangnya.
“Eh, bener, di sini banyak yang begitu. Sudahlah, pokoknya besok Ummi harus banyak makan. Abi tidak mau melihat Ummi sakit!”
“Tapi Ummi nggak bisa! Bau telur busuk itu masih teringat terus. Atau, Ummi nggak masak dulu? Ganti Abi yang masak, ya?” He-he-he, akhirnya keluar juga manjaku.
Begitulah, dalam beberapa hari suamiku mengerjakan tugas domestik. Badanku masih lemah. Obat malaria yang sangat pahit itu juga mengurangi nafsu makanku. Cuma roti dan susu yang bisa selamat kucerna. Makanan lain masih termuntahkan.
Konon, wabah malaria adalah sapaan hangat bagi pendatang di pulau ini. Pokoknya bukan orang Papua kalau belum kenalan dengan malaria. Makan kina seperti makan permen saja bagi orang Papua. Padahal, rasanya pahit sekali.
Setelah pulih, aku sangat ingin jalan-jalan.
“Sudah kuat? Nanti sakit lagi,” ujar suamiku.
“Buat refreshing lah, Bi.”
“Risiko nggak ditanggung, lho!”
“Ya, pokoknya keluar. Ke mana saja deh. Cari matoa juga boleh,” pintaku penuh semangat.
Beberapa kali aku sempat melihat orang menjual matoa di pasar. Sekarang lagi musim matoa, buah asli Papua. Bentuknya lonjong, sedikit lebih besar dari telur puyuh, dan rasanya mirip kelengkeng. Harganya relatif murah dibanding buah lainnya.
“Apa kerja mereka, Bi?” tanyaku saat melihat beberapa penduduk asli yang asyik mengobrol di pinggir jalan yang kami lewati.
“Nggak tahu, ya. Masih banyak yang berladang dan hanya mengambil hasil hutan. Tapi, ada yang kerja di proyek bangunan.”
“Iya, kelihatannya mereka kuat-kuat. Yang perempuan juga. Ummi pernah lihat perempuan yang bekerja di proyek dekat apotek itu.”
“Abi, apa mereka baik pada kita?” Hatiku ragu. Aku melihat sorot mata tidak bersahabat saat kami melintasi mereka.
“Ya, sulit dikatakan. Mereka itu keras dan suka berkelahi. Kalau sedang marah, apalagi dengan pendatang, mereka tidak peduli orang mana, asal bukan dari kalangan mereka, ya jadi sasaran. Bagi mereka pendatang, ya pendatang.”
“Bahaya kalau gitu.”
“Makanya, tidak aman pergi sendirian, apalagi perempuan.”
Tak lama kulihat botol-botol minuman keras berceceran di jalan. Mabuk-mabukan agaknya sudah jadi kebiasaan di sini. Di pasar, aku juga sering melihat orang mabuk.
Suamiku juga menjelaskan praktek pelacuran yang sudah lazim di sini. “Di dekat jalan tadi itu banyak rumah-rumah buat ‘begituan’,” tambah suamiku. Ah, pantas saja Papua punya angka penderita AIDS yang begitu tinggi.
“Ke mana nih? Sudah sore,” tegur suamiku.
“Ke dekat bandara saja. Pasti enak jalan-jalan sore begini.”
Suamiku mengarahkan sepeda motornya keluar dari jalan raya, menyusuri jalan pinggir kota menuju bandara. Ada sebuah sungai yang cukup besar mengalir di tepinya. Airnya cukup jernih tapi gelap, sepertinya berlumpur dan banyak ganggangnya. Aku jadi ingat ikan air tawar yang aku beli di pasar kemarin. Kotor dan berlumut sehingga aku harus bekerja keras membersihkan sisiknya.
“Kok dingin, ya? Rasanya aneh, bikin tidak enak badan.”
“Makanya, sebenarnya Abi tak ingin mengajak Ummi ke luar. Cuaca di sini beda. Maunya jalan-jalan, eh malah dapat penyakit nanti. Tapi, biar Ummi merasakan sendiri, daripada ngambek,” kata suamiku datar.
Suara serangga hutan yang berisik membuatku merasa tidak nyaman. Nyamuk-nyamuk hutan terasa berseliweran di sekitarku. Pohon-pohon besar dan rimbun membuat suasana gelap. Aku jadi ingin segera pulang. Tanpa banyak berdebat, suamiku menuruti keinginanku.
Kini aku tercenung, Terpikir kembali obsesiku untuk berdakwah di sini. Namun sekarang aku dihadapkan pada kondisi sesungguhnya. Orang-orang berperangai keras. Para pendatang yang matrealistis dengan tingkat moral yang memprihatinkan. Daerah transmigrasi yang kurang diminati karena kondisi jalan yang demikian buruk. Lingkungan yang rawan penyakit.
Lalu, bagaimana caraku berdakwah?
Hatiku jengah. Aku teringat buku-bukuku yang tersusun rapi di rak. Bayangan materi dakwah yang kupelajari tiba-tiba hadir. Aku menarik napas perlahan. Bergunakah semua itu di sini? Dengan apa kuketuk hati mereka untuk dekat pada Allah? Hatiku sibuk berdialog.
Setelah sampai di rumah, aku lebih banyak diam. Berpikir. Hingga jauh malam aku sulit tidur. Sementara suara gitar dan nyanyian parau berbahasa aneh membuatku terasa berada di negeri asing.
“Apakah di tempat seperti ini, akan lahir anak-anakku nanti? Akan tumbuh seperti apa mereka?” Aku mencoba mengais harap. Aku teringat saat suatu siang kulihat kaki-kaki kecil berjalan tanpa sepatu dan bangunan sekolah yang tidak terawat. Wajah pendidikan yang meresahkan hati. Ada banyak yang mesti disiapkan. Dan aku mesti ambil bagian.
Kutipan dari : http://www.ummigroup.co.id/?pilih=lihat&id=685

Dengan Puisi

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 0 comments



Dengan puisi.... Dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang Dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejar mengiri Dengan puisi aku memutih nafas jalan yang busuk Dengan puisi aku berdoa perkenankanlah kiranya Aduuh hari gini kok masih sempet-sempetnya ngomongin cinta? Tapi cinta khan nggak kenal perang, nggak kenal panas, nggak kenal hujan, nggak kenal badai, apalagi cuma badai reformasi! Puisi cinta di sini banyak sekali bentuknya, cinta kepada Allah, cinta kepada orangtua, cinta kepada adik-kakak, cinta kepada kekasih, cinta kepada negeri, pokoknya segala macem cinta yang pernah kita rasain deh... !! Nah, buat siapa aja yang seneng nulis puisi cinta, dan pengen ikutan nyumbang di halaman ini, kamu kirim aja ke emailku, puisinya terserah mau diambil dari mana, asal ditulis jelas pengarangnya siapa, syukur-syukur kalau ngarang sendiri, wah... lebih berarti tuh biasanya...!!

Daun Kering

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 0 comments

Bajuku lusuh, waktu sedang menunjukkan siangnya. Langkahku biarkan menulusuri pelan-pelan koridor. Mataku melihat sosoknya berjalan diseberang dengan seseorang. Wanita itu tertawa riang bersama seseorang. Angin bertiup pelan menyisingkan rok sekolahku. Mata ini terus memperhatikan, tangan mereka saling bergandeng tangan dan tangan yang lainnya saling menunjuk buku. Senyumnya, aku iri dengan sebaris gigi keluar disaat bersamanya sedangkan ketika denganku hal itu tak terjadi. Wanita berkurudung itu terus membuat seseorang yang disampingnya tersenyum manis. Senyum mereka terlalu mengembang hingga membuatku tak dapat tersenyum. Kupaksakan diri untuk terus berjalan namun bagaikan dipaku bumi kaki ini masih diam. Keadaan sekelilingku teramat sepi, tak ada seorangpun yang menyapaku. Wajah ini semakin lusuh, kepada sesosok pria yang tak pernah mengerti aku.

“Lagi ngapain?”, tampak secuil dosa terpampang diwajahnya. Senyum itu agak mengembang, hampir sama disaat bersama wanita berkerudung “Ngga lagi ngapa-ngapain, mang kenapa?”, ucapku tanpa menoleh sedikitpun kepadanya. Pria ini masih berdiri disamping tempatku duduk. Tubuhnya lebih kurus dariku, namun urat nadinya lebih menonjol keluar. Angin menerpa suasana diantara kami, diam membisu hanya itu yang terjadi diharinya bila bersamaku. Sudah kusisingkan lengan bajuku untuk membuatnya tetap tertawa, tapi yang terjadi hanya suasana hening yang kudapat. Mungkin, karena dia adalah pacar pertamaku yang benar-benar aku sukai. Walaupun dihati ini masih menunjuk kepada orang lain. Suasana saat bersamanya persis sekali seperti daun kering yang tertiup angin. Wajah kami sama-sama berlalu tanpa menoleh sedikitpun, sesekali kulirikkan mata ini.

“Boleh baca sms-nya?” “Boleh” Kubuka inbox di hp-nya, tak ada hal yang pribadi disana. Entah kenapa, wajahku meninggalkan senyum saat dia memperbolehkanku membaca sms-nya. “Mo pulang ngga?”, tanyanya padaku sambil melihat wajahku “Iya” “Pulang bareng ngga?” “Terserah”, kulihat senyumnya tergores. Kemudian aku berpamitan dengan teman lalu kami jalan beriringan. Tak membicarakan apapun, sepasang matanya sesekali bertabrakan mata denganku. Osh, jauh lebih tua dariku. Jalannya dipelankan mengikuti langkahku. Di koridor sekolah angin bertiup pelan, sebaris gadis IPS duduk berjejer dipinggir lantai koridor. Tertawa mereka riang “Ayo lagi ngapain?”, teriakku menyapa mereka “Mau rujak ngga?”, tawar mereka sambil menyodorkan aneka buah plus dengan sambelnya kepadaku.

Osh masih terus berjalan seperti tak menghiraukan. Kucicipi satu irisan buah mangga mereka, mulutku belepotan karena sambelnya. Tertawaku masih belum usai karena ulahku ini. Osh menunggu dengan tatapannya, entah ada perasaan apa yang hadir didiri. Angin tertiup sebagaimana mestinya, dia pria pertama yang menunggu langkahku untuk menghampirinya. Supaya tubuh ini sejajar dengan langkahnya. Walaupun perasaan ini tak kukenali tapi segores pulpen berbentuk senyum tergambar dihatiku. Suasana kelas saat ini sedang sepi, satu-dua orang menempati kelas dijam istirahat.

Ku tempati bangku belakang pojok kelas, tidak sengaja melihat dirinya. Sesosok berlalu didepan pintu, aromanya sangat khas hingga aku mengetahui sesosok itu. Tubuhnya mendekati wajah pedihku, lagi-lagi wanita berkerudung itu berjalan beriringan dengannya. Seperti melihatnya untuk pertama kali dan untuk yang sekian kalinya, perasaan yang timbul sangatlah menyakitkan. Dia tak akan mengetahui perasaan yang kualami saat ini, bila wanita berkerudung itu sedang bersamanya. Dia tak akan pernah mengetahui; saat duduk berduaan dengannya ada seseorang yang tersenyum padaku, ketika benar-benar memperhatikannya isi hati ini terisi orang lain, saat mencarinya aku telah menemukan orang lain terlebih dahulu sebelum dia, ketika diteleponnya kukira itu dari seseorang yang selalu kuharapkan. Perasaan bersalah itu timbul kembali, aku sebenarnya tak pernah membalas cinta Osh. Mungkin juga karena itu tawanya tak pernah lama saat disampingku.

Aku baru sadar bahwa aku selama ini tak pernah menghiraukannya. Suatu hari disaat aku duduk berduaan dengan Osh didepan kelas. Seseorang itu menyapaku, mengungkapkan lagi kejadian yang dulu pada saat tak bersama Osh. Wajah ini menelungkup tak mau membalas senyumnya, tak ingin melihat wajah lesunya. Namun usaha ini percuma, tak membuahkan hasil. Osh dengan sikapnya seolah-olah menyetujui aku untuk menikmati masa laluku ini. Kupandangi seseorang itu dengan lekat seperti biasanya, seolah tak ada Osh disampingku dengan tatapan mengarah kepadaku. Kisah itu terulang kembali disaat aku ingin benar-benar melupakannya. Apa kesalahanku? Osh memberi peluang, disaat aku ingin membayar kesalahan ini. Dia tak lagi menghiraukanku bahkan ketika kita bertatap muka. Entah dari mana datangnya, tinta pulpen itu menggores hatiku pedih. Seseorang itu menyapaku terus, memberi senyumnya yang sama ketika Osh tak ada dihariku dulu. Setiap pulang sekolah, aku menunggu seseorang itu yang seharusnya niatku ini menunggu Osh.

Di koridor sekolah dekat ruang guru, di sanalah Osh menyadari saat itu aku belum pulang. Matanya tetap memperhatikanku lalu, “Mau pulang ngga?” “Ngga lagi nunggu Alu”, nama seorang adik kelas menjadi korban. Senyumku ragu kutunjukkan, walau pahit aku tersenyum. Saat sosoknya hilang dari hadapan, sejenak aku berpikir “Osh, seandainya kau benar-benar tahu seseorang yang sedang aku nantikan sekarang. Apakah senyum dibibirmu itu masih terpajang?”, kepala kutundukkan. Seperti ini dan selalu seperti ini, ketika aku ingin menelpon seseorang. Osh menuliskan kata berupa sms dihp-ku. Ketika hubungan kita penuh dengan liku, kupakukan tangan pada seseorang. Ketika Osh tak bisa menemaniku duduk, seseorang datang dengan maksud menggantikannya. Ketika tubuh Osh berlalu begitu saja disampingku, tiba-tiba seseorang memberi senyumnya menyapaku.

Ketika kebetulan itu menjadi sebuah kebiasaan. Pelan-pelan palingan muka Osh menjadi suatu pembatas bagi kami, secara diam-diam. Seseorang ingin aku menempati janji, suatu saat ketika itu kita akan bertemu lagi dan saat itu hatiku tak dipenuhi Osh. Dan dalam diriku sendiri aku berkata "Bila memang perasaan ini ada hanya untuk sekedar membalas cinta Osh yang dulu padaku. Walau menyakitkan biarlah aku tanggung, supaya aku dapat merasakan sesuatu yang selama ini Osh tanggung diam-diam”.

Namun tetap saja aku seperti daun kering, hanya bisa bergerak ketika angin menggerakkanku. Dan aku ragu dengan sikap Osh yang mulai dingin tak memedulikanku, dengan sikap Osh yang seperti itu pelarianku menuju ke seseorang semakin menjadi suatu keharusan. Seseorang itu membentangkan tangan terhadapku. Lalu, ketika dua senyum menggores hatiku. Ada perasaan aneh yang timbul dan aku tak bisa memastikannya. Tiba-tiba wanita berkerudung itu tersenyum padaku, dalam senyumnya dia berkata “Bila perasaanmu tulus, hal yang menyakitkan itu tak akan pernah terjadi”, kusibakkan rambut kebelakang. Mengartikan lebih dalam senyumnya, dia juga menyukai Osh lebih dari yang aku punya. Jendela disebelahku menghapuskan rintik dipipi. Mencurahkan tentang isi hatiku saat ini. Osh melewati kelasku tanpa menoleh sedikitpun. Seperti inikah dia disaat dijauhiku, pandanganku alihkan keluar jendela. Rerumputan hijau menari seakan menyambut kesedihan jiwaku. Kisah yang menyenangkan ini membuat coretan berbentuk senyum tergambar banyak dihati, tak heran satu coretannya sangat menyakitkan jiwa.

Sedikit demi sedikit aku menyadari, kisah kita hanya sebuah kesalah pahaman. Tak berakar dan tak berujung. "Kamu sama saya jadian mau engga?" "Siapa?" "Hm…" "Si…apa?" "Kamu sama saya…jadian?", matanya menatapku ketika itu. Sekarang mata itu masih berarti sama, namun sikapnya sudah berubah. Pernah sekali aku rasakan cinta itu tak hadir terhadapku. Aku kira karena terlalu sering ditatapnya, tapi ternyata alasan itu salah. Kisahku bertepuk sebelah tangan, selama ini hanya dia yang merasa sakit hati. Ternyata itu hanya sebuah perasaanku saja.

Osh, bila perasaan itu masih terjaga, aku pasti akan menghubungimu. Bila memang ada yang lebih baik dariku, biarkanlah dia duduk. Jangan pernah mengharapkanku…jangan biarkan dia pergi sepertiku… Suatu saat aku pasti akan mengatakannya. Koridor sekolah sepi saat aku melewatinya dengan baju sekolah yang lusuh kulihat pintu kelasmu dari jauh. Ada sebuah senyum disana, pelan-pelan tanpa kau sadari aku telah berjalan mendekatinya dengan senyum menyinggung bibir walaupun seseorang masih mengikuti dalam jejak kaki ini. Seperti daun kering yang tertiup, bergerak mengikuti angin walau beberapa kerikil menyertai.

Tragedi ilang blog juga

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 0 comments

Aduh hampir aja blogger kesayangan gw ilang deh hehehehe... gara2 sembarangan posting iklan hehehe ampir aja, ternyata edit blogger emang harus backup terus deh.. sepat gw putus asa setelah dapet pencerahan tadi malam oleh sang master penyejuk ati gw walau gw semalam lagi gunda kelana hehehe... akhirnya blog gw selamat deh walau haru cari bugnya teliti banget hehehe...

seneng deh...

Dari buku Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy

Saturday, June 14, 2008 by Joe Spyder · 1 comments

Ppc

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan
kandungan
aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya
Raihana
adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo
dulu”
kata ibu.
“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan
untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu”,
ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan
diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu
saja
dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan
impian
tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa
berhadapan
dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas
kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan
anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama
sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami,
bisa
jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku
lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra,
yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung
indah,
mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari
menjelang
pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon
istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada
ibuku,
tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk
dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah
dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk
hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa
teriris-iris
dan
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari
Allah
SWT
atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya
sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir
kota
Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah.
Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat
bersama
dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit
cintaku
belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang
teduh
tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama
Raihana
mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang
jauh-jauh
rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya
kusayang
dan
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh
tak
acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang
kerja.
Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,
pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama,
karena
ia
orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak
apa-apa
koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah
tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil
‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah
tidak
mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam”
jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak
lama
kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad
nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa
mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus
bersikap
bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk
menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia
ini”.
Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka
karena
Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi
komunikasi
kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana
tetap
melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar
dan
kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum
kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi,
Memang
aku
berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku
dengan
khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas
mandi
dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi
mendidih”
lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah
siap”
kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar
mandi,
aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu
membawa
handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas
dan
mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar
mandi
dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti
yang
dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati
pakai
apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil
menuntunku
ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. “
Kalau
begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil
tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya.
Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya
yang
halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur
kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat
Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al
Quran
dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi
tak
semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur aku bermimpi
bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di
istananya.”
Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan
denganmu”
kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang
pangeran,
aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku
mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat
Mona
Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu
mempersilakan
aku
duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju, belum sempat
duduk,
tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat
Isya”
kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “
Maafkan
aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih
Hana
sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.
Meskipun
cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi
semakin
tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi
apakah
dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat
Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari
mana
sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar
terpenjara
dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri
belum
pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis
titisan
Cleopatra.
” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan
datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng,
tidak
enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara
lembut
Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia
letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang
jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” MaâEUR¦.maaf
jika
mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak
meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku
D..DinâEUR¦Dinda
Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya
Mas!”
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan
dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia
dipanggil
“dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “TeâEUR¦terima kasihâEUR¦DiâEUR¦dinda,
kita
berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku
sambil
menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku
dengan
wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima
kasih
Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda
siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”. Hana begitu
bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan
bakti
meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum
pernah
melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah
sedihnya
ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku
ini,
kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap
dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan
membasahi
hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana
aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku
sendiri
di
dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana
membawa
sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami
dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling
ideal
dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan
ubundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya
berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut
pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan
Raihana
lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal?
Ideal
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa
cinta
yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta
seperti
yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar
hangat.
Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga
kewibawaanku
di
mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan,
kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia
mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing
dengan
sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir
tentang
keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada
tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku.

Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami.
Bukankah
begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan
mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana.
Aku
berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku
hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku
sendiri
aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa.
Kepura-puraanku
memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin
manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak
kunjung
tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu
aku
semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan
lagi.
Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam
dan
mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan
ke
enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alas
an
kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya.
Karena
rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh
curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan,
Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita,
tolong
nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no
pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari
Aku
tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa
sebabnya
bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di
Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat
aku
pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku
benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan
perut
mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk
angin
dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi
tubuhku
dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku
terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam
hati,
aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak
terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi
aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu
dosen
mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa
arab
dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mEsir.
Dalam
pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa
arab
dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu
pengalaman
hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah
menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan
orang
mana?. ” Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya
pulang
dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan
perempuan
shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari
pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. “
Kau
sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku
melakukan
langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir
itu,
tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa
terjadi?”. ” Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank
arena
terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini,
Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke
Mesir
dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya
lulus
dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari
Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan
rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan
pertama
saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya
bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata
perasaan
saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh
Fadhil.
Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu
atau
sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika
saya
menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini,
sama-sama
menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar
yang
hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada
dengan
YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk
menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin.
Yasmin
menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang
mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali
ke
MEdan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di
Indonesia.
KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun
pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke
Mesir
menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan
YAsmin.
Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga
lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin untuk
berhemat.
Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa. Aku
mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi.
Sawah
terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul
penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang
hidup
dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa
berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa
yang
mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin
tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir
biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan,
maka
rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang
lalu.

Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru,
rindu
dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali.
Dunia tiba-tiba gelap semua